Tiga Dosen isi Kuliah Pakar Tentang Sastra di Era Kurikulum Merdeka
KUDUS– Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Muria Kudus (PBSI UMK) bekerja sama dengan Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Islam Sultan Agung Semarang (PBSI Unissula), dan Program Studi PBSI Universitas PGRI Adibuana Surabaya (PBSI UNIPA) mengadakan Kuliah Pakar dengan tema ‘Pembelajaran Sastra di Era Kurikulum Merdeka’ Rabu, (21/9/2022).
Kuliah pakar ini menghadirkan 3 narasumber, yaitu Dr. Evi Chamalah, M.Pd. dengan tema ‘Capaian Pembelajaran Sastra pada Kurikulum Merdeka’, Dr. Sunu Catur Budiyono, M.Pd. dengan tema ‘Sastra dan Peningkatan Budaya Siswa’, dan Dr. Mohammad Kanzunnudin, M.Pd. yang membawakan tema ‘Sastra dan Profil Pelajar Pancasila’.
Kegiatan kuliah pakar dilaksanakan secara daring dan diikuti sekitar 130 peserta. Kuliah pakar ini menghadirkan narasumber yang berkompeten dan pakar dibidangnya.
Evi Chamalah selaku pemateri pertama menjelaskan bahwa dalam kurikulum merdeka, bahasa dan sastra harus menyatu dan tidak terpisahkan. Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Kemampuan berbahasa, bersastra, dan berpikir merupakan fondasi dari kemampuan literasi. Semua bidang kajian, bidang kehidupan, dan tujuan-tujuan sosial menggunakan kemampuan literasi. Literasi menjadi kemampuan sangat penting yang digunakan untuk bekerja dan belajar sepanjang hayat. Literasi itu didukung oleh teks-teks sastra.
“Didalam kurikulum merdeka atau sekolah penggerak, capaian pembelajaran ada berbagai fase berdasarkan berbagai elemen. Diantaranya elemen menyimak, membaca dan memirsa, berbicara dan mempresentasikan, dan menulis. Fokus dari kurikulum merdeka belajar adalah menjadi pelajar Pancasila.” Ungkap Evi Chamalah yang merupakan Kaprodi PBSI Unissula Semarang.
Proses pembelajaran sastra di dalam kelas kembali kepada tugas yang harus diberikan guru pada kurikulum merdeka, dengan membuat modul ajar. Guru harus membuat modul ajar.
“Dalam kurikulum merdeka, guru mempunyai kewenangan dalam memilih teks Bahasa atau sastra untuk pembelajaran sesuai kondisi siswa. Sesuai karakteristik siswa dan karakteristik sekolah masing-masing. Guru bisa memilih mana kira-kira karya sastra yang cocok untuk pembelajaran siswa dan sebagainya. ” Ungkap perempuan kelahiran tegal 10 Oktober 1987 yang beralamat di Klipang Pesona Asri Residence Kavling 62 Sendangmulya Tembalang, Semarang.
Narasumber kedua Dr. Sunu Catur Budiyono menjelaskan tentang Sastra dan Peningkatan Budaya Siswa. New historicism mengandung dua hal yaitu pertama mengerti sastra melalui sejarah (epiphenomenon) dan kedua mengetahui budaya, sejarah, dan pemikiran melalui sastra.
“New historicism tidak membedakan teks sastra dengan nonsastra. New historicism tidak menilai produk budaya (tinggi-rendah, sastra-nonsastra, serius-populer) melainkan menunjukkan bagaimana berbagai ragam teks saling terkait dengan persoalan zamannya, sastra dan sejarah seperti jejaring teks dan bukan pendulum.” Ungkap Sunu.
Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa, New historicism memandang sastra bukan sebagai cerminan transparan dan pasif sejarah, melainkan membangun, mengartikulasikan, dan mereproduksi konvensi, norma, nilai budaya melalui tindak verbal dan imajinatif kreatif.
“Penjajah pernah membawa produk sastra dan budaya Indonesia. Rafles membawa warisan budaya Indonesia berupa tulisan daun lontar, sebanyak dua kapal. Kemudian kapal ini tenggelam.” Kata Sunu.
Dalam karya sastra Indonesia banyak sastra yang isinya mengangkat dan menjelaskan isu budaya. Misalnya novel berjudul Siti Nurbaya, Amungmae, Para priyayi, Salah asuhan, dan sebagainya.
“Bagi saya membaca sastra adalah membaca dinamika budaya masyarakat dan pemikiran kebudayaan. Membaca karya satra sama juga membaca prasasti budaya. Saya menegaskan bahwa membaca sebuah novel, puisi, cerpen dan karya sastra lain pada hakikatnya adalah membaca kebudayaan,” Tutur Sunu.
Narasumber kuliah pakar yang ketiga, yaitu Dr. Mohammad Kanzunnudin, M.Pd. beliau menjelaskan tentang Sastra dan Profil Pelajar Pancasila.
Ia menjelaskan tentang benang merah antara sastra dan merdeka belajar. Merdeka Belajar adalah suatu program inovatif untuk dunia pendidikan Indonesia dengan berlandaskan dua hal, yakni pertama pemberian kebebasan kepada siswa, guru dan sekolah untuk berinovasi dan melakukan kegiatan pembelajaran yang mandiri dan kreatif.
Kedua reformasi menyeluruh, tidak hanya mengenai kurikulum, tetapi menginisiasi sebuah gerakan di masing-masing sekolah melalui guru penggerak.
“Pelajar Pancasila adalah perwujudan pelajar. Indonesia sebagai pelajar sepanjang hayat yang memiliki kompetensi global dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, dengan enam ciri utama atau indikator yaitu pertama beriman, bertakwa kepada Tuhan YME, dan berakhlak mulia, kedua berkebinekaan global. Ketiga bergotong royong. keempat mandiri. Kelima bernalar kritis, dan keenam kreatif.” Kata dosen PBSI Universitas Muria Kudus tersebut.
Sastra sebagai alat untuk menyampaikan nilai. Sastra bisa memberikan sesuatu kepada pembaca, mampu menggerakkan, dan memberikan kenikmatan melalui unsur estetik.
Dalam proses penciptaan karya sastra ada korelasi untuk membentuk pribadi siswa yang bisa menjadi pelajar pancasila, misalnya dalam karya sastra ada proses observasi, studi pustaka, proses rasionalisasi/berpikir, kritis/mengkritisi, proses penghayatan, proses penafsiran, proses kontemplasi, proses penulisan, ini berlaku proses kemandirian.
“Proses penciptaan karya sastra inilah yang memiliki korelasi dengan membentuk profil pelajar Pancasila. Siswa dapat membuat atau menghasilkan karya sastra yang di dalamnya mengandung nilai-nilai kearifan atau nilai tentang profil pelajar Pancasila.” Ungkapnya.
“Kuliah pakar ini merupakan sumbangsih dosen kepada mahasiswa dan masyarakat secara umum. Semoga kegiatan kuliah pakar yang kita lakukan bisa menjadi amal baik dan bisa menjadi amal jariyah yang bermanfaat untuk masyarakat,” Tutur Dr. Irfai Fathurohman, M.Pd, selaku Kepala Prodi PBSI Universitas Muria Kudus. (Ahsin/Red)